Dengan pembatalan larangan ini, produsen sepeda motor kini memiliki waktu lebih lama untuk melakukan riset dan pengembangan teknologi listrik tanpa harus terburu-buru menghadirkan produk yang belum sepenuhnya siap diterima oleh pasar luas.
Selain aspek teknis, keputusan ini juga didasari oleh pertimbangan ekonomi yang kuat.
Weber menekankan bahwa langkah ini merupakan pesan penting bagi seluruh industri otomotif untuk mengamankan puluhan ribu lapangan kerja di sektor manufaktur.
Sebelumnya, raksasa otomotif seperti Volkswagen, BMW, Mercedes-Benz, hingga Stellantis telah menyuarakan keberatan mereka.
BACA JUGA:Motor Listrik Agresif Bertenaga, Indomobil eMotor Sprinto Kini Resmi Meluncur di Kota Kembang
Mereka berpendapat bahwa konsumenlah yang seharusnya menentukan kecepatan transisi menuju elektrifikasi, bukan dipaksakan melalui regulasi yang kaku.
Kegagalan pasar dalam mencapai target penjualan kendaraan listrik serta infrastruktur pengisian daya yang belum merata menjadi alasan kuat mengapa target "full electric" pada 2035 dianggap tidak realistis.
Di sisi lain, kebijakan ini juga memberikan tekanan politik bagi negara-negara di luar Uni Eropa, termasuk Inggris.
Meskipun Inggris sudah keluar dari blok tersebut, keselarasan kebijakan otomotif sangat krusial mengingat Uni Eropa adalah pasar ekspor terbesar mereka.
BACA JUGA:Ekspansi VinFast di Indonesia, Pabrik Subang Siap Produksi Motor Listrik untuk Pasar Lokal
Para ahli menilai pemerintah Inggris kemungkinan besar akan terpaksa mengevaluasi ulang target pelarangan mesin ICE mereka sendiri agar tetap kompetitif secara ekonomi.
Pada akhirnya, pelonggaran aturan ini membuktikan bahwa meskipun visi ramah lingkungan sangat penting, kesiapan teknologi dan daya beli konsumen tetap menjadi faktor penentu utama dalam evolusi dunia otomotif.